Berbagai Perspektif tentang Pernikahan

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sebuah ikatan yang didasarkan pada janji suci di hadapan Tuhan.  Janji setia selamanya saat suka maupun duka. 

Pernikahan adalah suatu hal yang serius. Sering kali orang mempersiapkan pernikahan sematang mungkin dan penuh pertimbangan. Namun, akhir-akhir ini pernikahan terlihat tidak lagi "sesakral" dulu. Banyak pasangan bercerai dan menikah lagi dengan pasangan baru begitu mudahnya. Baik dari kalangan selebriti, orang terpandang maupun rakyat biasa. 

Hal ini secara tidak langsung mengubah cara pandang banyak orang tentang pernikahan. Mulai dengan pertanyaan, "Haruskah menikah bila dapat berpisah begitu mudahnya?", atau "Menikah hanya karena menyenangkan hati orang tua?", "Haruskah meresmikan hubungan melalui pernikahan?" dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul dewasa ini. Bukan tanpa sebab. Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul seiring masuknya westernisasi dan paham-paham dari barat, seperti feminisme dan liberalisme. Mengapa feminisme? Banyak perempuan masa kini yang menuntut adanya persamaan hak dan tidak ingin menjadi "pemuas nafsu seksual" pria saja. Lagi pula, dengan semakin banyaknya perempuan yang berpendidikan tinggi, banyak pula perempuan yang memprioritaskan karier di atas segalanya. Sungguh sulit untuk menikah, bila karier sedang berada di puncak. Mengapa liberalisme? Tentu saja karena kebebasan hak untuk menjalani hidup sesuai pilihan pribadi. Mengapa menikah hanya karena keinginan orang tua, kan yang menjalani adalah pribadi itu sendiri, bukan orang tuanya.

Dan.... saya termasuk orang yang mempertanyakan hal yang sama . "Mengapa seseorang harus menikah?". Pertanyaan ini hinggap di kepala saya cukup lama. Belum ada jawaban yang bisa saya terima. Ada satu orang yang pertama kali saya ajukan pertanyaan ini, yaitu Ayah saya. Bercermin pada kisah pernikahan Ayah dan Ibu saya yang berhenti sebelum genap sewindu, saya jadi enggan menikah. Mendengar pertanyaan saya, Ayah saya menjelaskan dengan bijak dan memberi satu pernyataan yang membuat pikiran saya sedikit berubah. Meski sedikit, tetapi jawaban dari Ayah saya sangat membuka mata saya.

Perceraian bukan pilihan, tetapi keputusan. Apa yang Papa dan Mama alami bukanlah sesuatu yang direncanakan dari awal pernikahan. Tentu tidak ada yang ingin berpisah dari orang yang dicintainya. Itu takdir. Papa hanya berharap, kelak adek akan menikah dan tidak mengulangi cerita yang sama.
Pernyataan itu selalu melekat di pikiran saya, tetapi terkadang hati ini masih bertanya, "haruskah menikah?" . Akhirnya, saya mengajukan pertanyaan ini kepada teman-teman saya, yang Tuhan pertemukan dalam sebuah kepanitiaan. 

Suatu malam kami menghabiskan waktu bersama di sebuah mall di Depok. Awalnya sekedar makan malam bersama di Food Court, lalu berlanjut menyaksikan penampilan "jamming session" Jazz. Sambil menyaksikan penampilan musik tersebut, kami berenam (Tiara, Sasha, Anjas, Ewi, Fazza dan Bang Vido) mengobrol tentang banyak hal. Waktu menunjukkan pukul 23.00, Fazza dan Anjas memutuskan untuk pulang. Tersisalah kami berempat yang juga menunggu kehadiran seorang teman, yaitu Widyo. Obrolan menjadi serius saat muncul pernyataan "Coba bayangkan Bang Vido sepuluh tahun lagi" ....

Dari sana, mengalirlah pembicaraan ke arah pernikahan dan feminisme, pernikahan beda agama dan berkarir selama menikah. Pertanyaanku tadi membawa kami berlima mengeluarkan pendapat kami tentang pernikahan dengan penuh semangat. Intinya, keempat temanku berkeyakinan bahwa mereka harus menikah kelak. Dari berbagai pendapat yang keluar, dapat disimpulkan pernikahan itu....

Gue akan menikah nanti. Gue gak akan membatasi ruang gerak istri gue. Semua bisa dikompromikan bersama. Di dalam suatu kepanitiaan, hanya ada satu pemimpin. Begitu juga dengan pernikahan. - Bang Vido
Pernikahan beda agama itu ibarat menuju ke suatu tempat dengan dua peta. Memang, tujuannya satu, tetapi kalau petanya berbeda, tentu jalan (dua orang) akan berbeda. Maka dari itu, pilihlah satu peta dalam mencapai tujuan itu.Jelas, salah satu harus mengalah - Widyo
Pernikahan itu... Gue menikah dengan orang yang gue cintai. Gue punya seseorang yang setiap hari bisa gue lihat, gue berbagi kebahagiaan juga kesedihan dengannya. Saat lo menikah, lo menyemangati satu sama lain. - Sasha
Pernikahan itu penyatuan dua hati. Saat lo menikah, orang yang lo cintai itu akan selalu pengen lo liat. Baik laki-laki dan perempuan, saling menguatkan di dalam pernikahan. Soal menikah, tetapi masih kerja... gak masalah sih menikah sambil meniti karier, selama anak-anak tidak kekurangan kasih sayang dan perhatian. - Ewi

Jawaban dari teman-temanku itu menambah pengetahuan bagiku, memperluas cakrawala dalam memandang hal yang membutuhkan kedewasaan itu, pernikahan. Mungkin karena saya masih belum dewasa dan juga masih menutup diri dari kenyataan. Kenyataan bahwa manusia membutuhkan satu sama lain. 

Meskipun demikian, saya tidak menyesali keyakinan yang saya pendam selama ini bahwa manusia tidak harus menikah. Lagi pula, saya belum pernah merasakan jatuh cinta. Saya pernah menyayangi seseorang, tetapi tidak "jatuh cinta". Mungkin itu salah satu faktornya. Mungkin juga suatu hari nanti, saat saya "jatuh cinta" kepada seseorang, saya akan memutuskan untuk menikah dengannya. Mungkin. Biarkan waktu yang menjawab. Kita lihat saja nanti. 

Sekian tulisan saya malam ini. Semoga bermanfaat bagi yang membaca. Salam! :)

Ps : berdoalah sebelum dan sesudah membaca, agar tidak tersesat :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan Swalayan

Dare to Be Plus-Sized Model

Biaya Hidup di Depok